FILOLOGI DAN SASTRA KLASIK
FILOLOGI
Etimologi Kata
Filologi
Filologi
secara etimologis berasal dari bahasa Yunani philologia. Philologia berasal
dari dua kata, yaitu philos yang berarti ‘teman’ dan logos yang
berarti ‘pembicaraan atau ilmu’. Berdasarkan etimologinya, dua kata tersebut
kemudian membentuk arti ‘senang berbicara’ atau ‘senang ilmu’. Arti ini
kemudian berkembang menjadi senang belajar, senang kepada ilmu, dan senang
kepada hasil-hasil karya-karya tulis yang bermutu tinggi, seperti karya sastra.
Filologi sebagai istilah, pertama
kali diperkenalkan oleh Erastothenes, dan
kemudian dipergunakan oleh sekelompok ahli dari Iskandariyah sejak abad
ke-3 S.M. Sekelompok ahli ini bekerja dengan tujuan untuk menemukan bentuk asli
teks-teks lama Yunani. Sebagai istilah, filologi mempunyai definisi yang sangat
luas, dan selalu berkembang.
a. Filologi sebagai Imu Pengetahuan
Filologi pernah disebut sebagai L’etalage
de savoir ‘pameran ilmu pengetahuan’. Hal ini dikarenakan filologi membedah
teks-teks klasik yang mempunyai isi dan jangkauan yang sangat luas. Gambaran
kehidupan masa lampau, berserta segala aspeknya, dapat diketahui melalui kajian
filologi. Termasuk di dalamnya, berbagai macam ilmu pengetahuan dari berbagi
macam bidang ilmu.
b. Filologi sebagai Ilmu Sastra
Filologi juga pernah dikenal sebagai
ilmu sastra. Hal ini dikarenakan adanya kajian filologi terhadap karya-karya
sastra masa lampau, terutama yang bernilai tinggi. Kajian filologi semakin merambah
dan meluas menjadi kajian sastra karena mampu mengungkap karya-karya sastra
yang bernilai tinggi.
c. Filologi sebagai Ilmu Bahasa
Teks-teks masa lampau yang dikaji
dalam filologi, menggunakan bahasa yang berlaku pada masa teks tersebut
ditulis. Oleh karena itu, peranan ilmu bahasa, khususnya linguistik diakronis
sangat diperlukan dalam studi filologi.
d. Filologi sebagai Studi Teks
Filologi sebagai istilah, juga
dipakai secara khusus di Belanda dan beberapa negara di Eropa daratan. Filologi
dalam pengertian ini dipandang sebagai studi tentang seluk-beluk teks, di
antaranya dengan jalan melakukan kritik teks.
Filologi dalam perkembangannya yang
mutakhir, dalam arti sempit berarti mempelajari teks-teks lama yang sampai pada
kita di dalam bentuk salinan-salinanya dengan tujuan menemukan bentuk asli teks
untuk mengetahui maksud penyusunan teks tersebut. Filologi dalam arti luas
berarti mempelajari kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana
yang terdapat dalam bahan-bahan tertulis.
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1993: 277) istilah filologi diartikan sebagai ilmu
tentang bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana
terdapat di bahan-bahan tertulis. Berbicara mengenai filologi, Soebadio (1991:
3) menyatakan bahwa filologi adalah teknik telaah yang menyangkut
masalah-masalah dalam naskah lama. Filologi juga dapat diartikan sebagai telaah
sastra (kesusastraan) dan ilmu (disiplin) yang berkaitan dengan sastra atau
bahasa yang dipakai dalam karya sastra. Tetapi dalam perkembangannya telaah
dengan teknis filologi kemudian mendapat arti jangkauan yang lebih luas, yaitu
dihubungkan dengan masalah-masalah kebahasaan secara umum, termasuk
bidang-bidang yang kini digolongkan bidang linguistik, seperti tata bahasa,
semantik, dan lain-lain.
Dewasa ini
pengertian filologi telah menjadi lebih luas dan terarah, yaitu meliputi telaah
mengenai bahasa yang digunakan manusia (human speech), terutama bahasa
sebagai wahana sastra dan sebagai bidang studi yang dapat memberi kejelasan
mengenai sejarah kebudayaan (Soebadio, 1991: 3).
Di Indonesia, yang dalam sejarahnya
banyak dipengaruhi oleh bangsa Belanda, arti filologi mengikuti penyebutan yang
ada di negara Belanda, yaitu suatu disiplin yang mendasarkan kerjanya pada
bahan tertulis dan bertujuan mengungkapkan makna teks tersebut dalam segi
kebudayaan.
Filologi di Indonesia diterapkan pada
teks-teks yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah, seperti
bahasa Melayu, Aceh, Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, Bali, Bugis, dan lain-lain.
naskah yang mendukung teks dalam bahasa-bahasa tersebut terdapat pada kertas atau lontar.
Filologi dalam Kamus Istilah Filologi
(1977: 27), didefinisikan sebagai “ilmu yang menyelidiki perkembangan
kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya, atau yang menyelidiki kebudayaan
berdasarkan bahasa dan kesusastraannya”.
Djamaris (1977: 20) memberikan
pengertian yang lebih spesifik mengenai filologi. Filologi diartikan sebagai
suatu ilmu yang objek penelitiannya adalah manuskrip-manuskrip kuna.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa pengertian filologi
secara luas, adalah ilmu yang mempelajari perkembangan kebudayaan suatu
bangsa yang meliputi bahasa, sastra, seni, dan lain-lain. Perkembangan tersebut
dipelajari melalui hasil budaya manusia pada masa lampau berupa
manuskrip-manuskrip kuna yang kemudian diteliti, ditelaah, dipahami, dan
ditafsirkan. Pengertian-pengertian filologi di atas, menggambarkan keluasan
jangkauan analisis filologi.
B. Objek Filologi
Sasaran
kerja penelitian filologi adalah naskah, sedangkan objek kerjanya adalah teks
(Baried, 1994: 6). Oleh karena itu, perlu dibicarakan hal-hal mengenai
seluk-beluk naskah dan teks.
1. Pengertian naskah
Naskah merupakan objek kajian filologi berbentuk riil, yang merupakan
media penyimpanan teks. Baried (1994: 55), berpendapat bahwa naskah adalah
tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai
hasil budaya bangsa masa lampau. Darusuprapta (dalam Surono 1983: 1),
memberikan definisi, bahwa naskah sering disamakan dengan teks yang berasal
dari bahasa Latin textua yang berarti ‘tulisan yang mengandung isi
tertentu’.
Naskah juga dapat diberi pengertian sebagai semua peninggalan tertulis
nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu, dan rotan (Djamaris, 1977:
20). Naskah atau manuskrip, ditulis dengan bahan-bahan yang beragam. Baried
(1985:6), berpendapat bahwa bahan-bahan
yang digunakan untuk menulis naskah antara lain:
(1) karas yaitu
papan atau batu tulis dengan alat yang dipakai untuk menulisi tanah; (2) daluwang,
atau kertas Jawa dari kulit kayu; (3) bambu yang dipakai untuk naskah Batak;
(4) kertas Eropa yang biasanya ada watermark atau cap air.
Ismaun (1996:
4) menyatakan bahwa:
Naskah daerah seperti naskah Sunda dibuat dari daun lontar, janur, daun
enau, daun pandan, nipah, dluwang, dan kertas. Naskah Jawa pada umumnya
menggunakan lontar menggunakan bahan lontar (ron tal ‘daun tal’ atau
‘daun siwalan’), dluwang, yaitu kertas Jawa dari kulit kayu, dan kertas.
Bahan naskah (manuskrip) nampaknya tidak terbatas pada bahan-bahan
tersebut di atas, bahkan bahan naskah di wilayah nusantara lebih beragam,
seperti perkamen, kertas, bambu, lontar, kulit kayu, dan lain-lain.
Keterangan di atas dapat memberikan gambaran bahwa bahan naskah
digolongkan dalam tiga golongan, antara lain: bahan mentah dari bambu, kulit
kayu, rontal dan daun palem lainnya. Bahan setengah matang dengan proses
sederhana, antara lain perkamen, dluwang, dan bahan matang dengan proses
sempurna seperti kertas Eropa. Kertas Eropa ini, pada abad XVIII dan XIX mulai
menggantikan dluwang karena kualitasnya lebih baik untuk naskah di
Indonesia. Alat yang digunakan untuk menulis naskah, disesuaikan dengan bahan
yang akan ditulisi. Bahan naskah mentah biasanya menggunakan pisau.
Naskah lama yang ditulis atau disalin dengan tangan, dapat memberikan
berbagai macam informasi mengenai naskah itu sendiri maupun penulis dan
penyalin naskah yang bersangkutan. Informasi tersebut dapat dilihat dengan
membandingkan: (1) keadaan tulisan. Tulisan yang jelas, rapi, indah, dan tidak
mengandung banyak kesalahan menunjukkan hasil tulisan penulis atau penyalin
yang berpengalaman, seperti penulis ahli pada istana raja; (2) keadaan bahan
naskah yang dapat digunakan sebagai gambaran awal mengenai umur naskah
(Soebadio, 1991: 4).
2. Penggolongan Naskah
Keanekaragaman naskah tidak hanya
terdapat pada unsur fisik naskah seperti
keanekaragaman bahan yang digunakan untuk menulis naskah, jenis tinta yang
digunakan, keadaan tulisan naskah, dan lain-lain. Keanekaragaman juga terlihat dalam
jenis-jenis naskah yang ditulis. Sebagai contoh, misalnya penggolongan
naskah-naskah Jawa. Naskah Jawa sudah dikelompokkan dalam beberapa jenis.
Penjenisan naskah adalah pengelompokan naskah berdasarkan ragam-ragam tertentu
yang menjadi ciri kahas, sehingga berbeda dengan yang lain. Namun harus dimaklumi,
kadang-kadang tidak mudah untuk menentukan sebuah naskah termasuk jenis mana,
karena berbagai ragam yang dikandungnya.
Berikut ini adalah
contoh-contoh penjenisan naskah Jawa berdasarkan beberapa katalog dan pendapat
para ahli:
Daftar yang disusun oleh Pigeaud (dalam Soebadio 1991: 10) membagi
naskah menjadi beberapa macam, antara
lain:
(1) naskah keagamaan yang meliputi
berbagai jaman dan jenis atau aliran agama dan kepercayaan; (2) naskah kebahasaan
yang menyangkut ajaran bahasa-bahasa daerah. Ada juga naskah yang memberi
pengajaran bahasa yang terselubung dengan memanfaatkan ajaran tata bahasa lewat
cerita-cerita rakyat; (3) naskah filsafat dan folklore; (4) naskah mistik
rahasia, dalam hal ini perlu diperhatikan secara khusus berbagai jenis naskah
yang mengandung ajaran filsafat dan mistik yang tidak dimaksudkan untuk umum,
melainkan hanya diajarkan kepada yang sudah termasuk kelompok “dalam” atau yang
sudah dikenakan “inisiasi”; (5) naskah mengenai ajaran dan pendidikan moral;
(6) naskah mengenai peraturan dan pengalaman hukum; (7) naskah mengenai
keturunan dan warga raja-raja; (8) bangunan dan arsitektur; (9) obat-obatan.
Naskah tersebut umumnya mengandung petunjuk mengenai ramuan obat-obatan tradisional
yang berdasarkan tumbuh-tumbuhan (jamu); terdapat juga naskah yang memberi
petunjuk mengenai cara pengobatan lewat jalan mistik, meditasi, yoga, dan
sebagainya; (10) perbintangan; (11) naskah mengenai ramalan; (12) naskah
kesastraan, kisah epik (kakawin) dan lain sebagainya; (13) naskah bersifat
sejarah (babad), dan sebagainya; (14) jenis-jenis lain yang tidak tercakup dalam kategori-kategori di
atas.
Behrend (1990: v-vii), mengelompokkan naskah
berdasarkan jenis sastranya, antara lain:
(1)
sejarah;
(2) silsilah; (3) hukum; (4) bab wayang; (5) sastra wayang; (6) sastra; (7)
piwulang; (8) Islam; (9) primbon; (10) bahasa; (11) musik; (12) tari-tarian;
(13) adat-istidadat; (14) lain-lain: teks-teks lain yang tidak dimuat di bawah kategori-kategori
lainnya.
Penjenisan
Naskah Jawa Berdasarkan Katalogus Naskah Verde antara lain:
(1) Puisi Epis; (2)
Mitologi dan Sejarah Legendaris; (3) Babad dan Kronik; (4) Cerita, Sejarah, dan
Roman; (5) Karya-karya Dramatis, Wayang,
Lakon; (6) Karya-karya Kesusilaan dan Keagamaan; (7) Karya-karya Hukum,
Kitab-kitab Undang-undang; (8) Ilmu dan Pelajaran: Tata Bahasa, Perkamusan,
Pawukun (Astronomi), Sangkalan (Kronologi), Katuranggan; (9) Serba-serbi
Penjenisan
Naskah Jawa Berdasarkan Katalogus Naskah Juynboll:
(1) Prasasti-prasasti dan Turunan-turunannya; (2) Syair Jawa Kuna
(Kakawin); (3) Syair Jawa Pertengahan dan Metrum Tengahan; (4) Syair Jawa
Pertengahan dengan Metrum Macapat; (5)
Syair Jawa Baru dengan Metrum Macapat;
(6) Prosa: Jawa Kuna; Jawa Pertengahan; Jawa Baru.
Katalogus Ricklefs–VoorhoevRicklefs dan Voorhoev menggolongkan naskah-naskah Jawa
berdasarkan atas bahasa yang digunakan
seara kronologis atau dialektologis, sehingga terdapat penjenisan naskah Jawa
sebagai berikut (1) Naskah-naskah Jawa Baru; (2) Naskah-naskah Jawa
Pertengahan; (3) Naskah-naskah Jawa Kuna.
Naskah Jawa sendiri, jika digolongkan
berdasarkan kandungan isinya, menurut Pigeaud dalam Soebadio (1991: 10), antara
lain adalah:
a. Naskah Keagamaan yang meliputi berbagai jaman dan jenis atau aliran
agama dan kepercayaan.
b. Naskah Kebahasaan yang menyangkut ajaran-ajaran bahasa-bahasa
daerah.
c. Naskah Filsafat dsan Folklore
d. Naskah Mistik Rahasia
e. Naskah mengenai ajaran dan pendidikan
moral
f. Naskah mengenai peraturan dan
pengalaman hukum
g. Naskah mengenai keturunan dan warga
raja-raja
h. Naskah mengenai bagunan dan
arsitektur
i.
Naskah
mengenai obat-obatan. Naskah tersebut umumnya mengandung petunjuk mengenai
ramuan obat-obatan tradisional yang
berdsarkan tumbuh-tumbuhan (jamu); terdapat juga naskah yang memberi petunjuk mengenai cara pengobatan
lewat jalan mistik, meditasi, yoga, dan lain-lain.
j.
Naskah
mengenai arti perbintangan. Naskah-naskah yang
bersangkutan lebih cenderung pada astrologi daripada astronomi.
k. Naskah mengenai ramalan, penjelasan
impian, dan tanda-tanda yang terdapat
pada tubuh manusia, hewan, dan lain-lain.
l.
Naskah
kesastraan, kisah epik (kakawin), dan sebagainya. Naskah-naskah ini memberi
informasi pula mengenai keadaan negara dan alam pada jaman naskah disusun.
m. Naskah bersifat Babad (sejarah), dan
lain-lain.
n. Jenis-jenis lain yang tidak tercakup dalam kategori-kategori di
atas.
Tujuan
studi filologi dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan
umum filologi yaitu: (1) memahami sejauh mungkin kebudayaan suatu bangsa
melalui hasil sastranya, baik lisan maupun tertulis; (2) memahami makna dan
fungsi teks bagi masyarakat penciptanya; (3) mengungkapkan nilai-nilai budaya
lama sebagai alternatif pengembangan kebudayaan.
Sedangkan
tujuan khususya adalah: (1) menyunting sebuah naskah yang dipandang paling
dekat dengan teks aslinya; (2) mengungkap sejarah terjadinya teks dan sejarah
perkembangannya; (3) mengungkap resepsi pembaca setiap kurun penerimaannya.
Tujuan Filologi
Secara khusus, studi
filologi sebagai suatu disiplin ilmu, mempunyai tujuan kerja tertentu. Tujuan
kerja filologi tersebut pada dasarnya bertitik tolak dari adanya berbagai
bentuk variasi teks (Soeratno, 1990: 3). Cara pandang mengenai bentuk-bentuk
variasi tersebut kemudian melahirkan dua konsep penelitian filologi, yaitu
konsep filologi tradisional dan konsep filologi modern. Masing-masing konsep
ini memiliki dua tujuan yang berbeda. Konsep filologi tradisional, memandang
variasi secara negatif (sebagai bentuk korup). Oleh karena itu, penelitian
filologi dengan konsep ini bertujuan untuk menemukan bentuk asli atau bentuk
mula teks, maupun yang paling dekat dengan bentuk mula teks (Baried, 1994:
6-7).
SASTRA KLASIK
Sastra klasik adalah salah satu kajian ilmu filologi yang yang
dibuat oleh masyarakat yang masih dalam keadaan
tradisional (masyarakat
kuno) baik lisan maupun tulisan.
Sastra klasik merupakan bagian dari
hasil pemilahan jenis-jenis naskah klasik yang terdiri atas, naskah yang berisi
sejarah, naskah keagamaan, atau naskah obat-obatan, dan sebagainya.
Dilihat dari media bahasanya objek
studi filologi adalah naskah klasik, dengan demikian menggunakan media bahasa
tulis. Meskipun demikian ada pendapat bahwa studi filologi juga bisa mencakup
peninggalan/karya dalam bentuk lisan. Pendapat ini didasari pemikiran bahwa
tradisi bersastra bahkan berbudaya sudah dimulai sejak manusia belum mengenal
tulisan. Bentuk pengawetan/pelestarian pada masa sebelum dikenal bahasa tulis adalah
dengan penghafalan secara lisan dengan penyebaran secara leluri. Walaupun
demikian, dalam studi filologis, peninggalan teks yang dikemas dalam bahasa
lisan secara teknis akan melalui proses transkripsi ke dalam bentuk naskah atau
bahasa tulis.
Sumber:
http://the-ladunni.blogspot.com/2012/06/filologi-sekilas-tentang-pengertian
trmksh, tp kira2 di Indonesia sdh bnyak yg menggunnnakan pendekatan ini blm u?
BalasHapus