TOPOLOGI
SASTRA LISAN DAN SASTRA TULIS
DI INDONESIA
Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan
berbagai etnis, kaya dengan dongeng, cerita rakyat, legenda, mite, adat
istiadat, permainan rakyat, tarian rakyat, nyanyian rakyat dan sebagainya.
Kekayaan tersebut diwariskan secara turun temurun. Khazanah kebudayaan
tradisional tersebut, sebagian terekam dalam naskah-naskah lama dari berbagai
daerah, seperti: Aceh, Batak, Nias, Minangkabau, Lampung, Sunda, Jawa, Bali,
dalam berbagai huruf daerah setempat. Di samping itu, ada yang terekam sebagai
tradisi lisan (Wahjono,1999:105).
Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa
lampau tersebut, sampai sekarang merupakan warisan kebudayaan para leluhur,
antara lain terdapat dalam berbagai cerita rakyat yang masih diturunkan dari
mulut ke mulut dan kini telah banyak direkam di dalam berbagai tulisan
(Mulyadi, 1994:1). Kadang-kadang terdengar ungkapan “warisan budaya”, yang
menggambarkan sesuatu mencakup teks klasik yang diwariskan secara
turun-temurun.
Ada perbedaan cara memaknai sebuah warisan di mata
bangsa Indonesia dan para sarjana Barat. Bangsa Indonesia menganggap warisan
budaya yang berupa teks (lisan dan tertulis), adalah sebuah “pusaka” yang perlu
“dilestarikan” dengan berbagai cara menurut tradisi masing-masing daerah.
Sarjana Barat menganggap teks (lisan dan tertulis) adalah sebuah peristiwa
budaya rohani bangsa Indonesia, di dalamnya terekam berbagai pemikiran, konsep,
nilai budaya
manusia
Indonesia di masa lampau.
Pemikiran antara Barat dengan Timur bukanlah sesuatu
yang harus disikapi dengan pertentangan atau dikotomi rasa dengan rasio. Namun,
yang lebih penting dilakukan adalah bagaimana kedua pandangan itu dipadukan,
sehingga mampu meneropong konsep atau pemikiran yang tertuang di dalam teks tersebut,
tidak hanya sebatas rasa tetapi juga rasio. Bila demikian, masyarakat telah
“menghargai” arti penting sebuah teks baik lisan maupun tertulis.
A.
Sastra
Lisan
Sastra lisan
adalah kesusastraan yang mencangkup ekspresi kesusastraan warga dan kebudayaan
yang disebarkan dari dan diturun-temurunkan secara lisan atau dari mulut ke
mulut (Hutomo, 1991:1). Sastra lisan sendiri memiliki nilai-nilai yang luhur
dalam masyarakat lebih-lebih pada kebudayaan yang ada dalam masyarakat.
Dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia, sastra lisan adalah hasil sastra lama yang
disampaikan secara lisan umumnya disampaikan dengan dendang, baik dengan
iringan musik (rebab, kecapi, dan lain-lain).
Hutomo
(1991:3-4) menyatakan bahwa sastra lisan memiliki ciri, antara lain. 1)
penyebaranya memalui mulut, maksudnya ekspresi budaya yang disebarkan baik dari
segi waktu maupun ruang memalui mulut. 2) lahir dari masyarakat yang masih
bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal huruf.
3) menggambarkan ciri-ciri budaya satu masyarakat. Sebab sastra lisan adalah
warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut pula hal-hal
baru ( sesuai dengan persoalan sosial), karena itu sastra lisan disebut juga
fosil hidup. 4) bercorak puitis, 5) terdiri berbagai fersi, 6) tidak
mementingkan fakta atau kebenaran, lebih menekankan pada aspek khayalan,
fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern, tetapi memumyai fungsi di
masyarakat, dan 7) menggunakan bahasa lisan setiap hari.
Berdasarkan
bentu, di Indonesia pada umumnya sastra
lisan berbentuk prosa, seperti dongeng-dongeng, ada juga yang berbentuk prosa
liris seperti sastra kaba (Minangkabau), sastra pantun (Sunda), sastra
kentrung dan jemblung (Jawa) dan lain-lain (Hutomo, 1991:60).
Sastra
lisan dilahirkan di kalangan rakyat yang tidak mengetahui tulisan. Oleh karena
itu, sastra lisan disebut juga sastra rakyat. Sastra rakyat merupakan sebagian
budaya rakyat yang merangkumi semua aspek tentang kehidupan suatu masyarakat.
Sastra ini hanya bertumpu pada hasil kesusastraan yang bercorak pertuturan yang
terdapat dalam suatu bangsa. Sastra lisan ini dapat disampaikan dalam bentuk
puisi seperti: jampi, mantera, pantun, peribhasa, bahasa
berirama, dan teka-teki.
Sastra lisan adalah salah satu
perwujudan sastra yang memiliki kekhasan. Ciri khusus sastra lisan bahwa jenis
sastra ini kehadirannya melekat dengan “artis”. Hal ini berbeda dengan sastra
tulis yang setelah selesai di tulis, maka sastra tersebut akan menjadi sastra
“yatim piatu” dan sang pengarang dianggap tewas sudah (the death of the
author) (Barthes, 1987:8).
Dalam komunikasi sastra lisan ada
empat unsur yang penting untuk tercapainya komunikasi tersebut. Keempat unsur
komunikasi tersebut harus hadir secara serempat dalam penyajian sastra lisan
(Sudardi, 2002:2). Keempat unsur tersebut ialah: (a) artist;(b) story;(c)
performance; dan (d) audience.
Artist (artis/ seniman) adalah orang yang
menyajikan sastra lisan tersebut. Artis ini dapat disejajarkan dengan pemancar
dalam konsep Jakobson di atas. Artis ini dapat tunggal, namun dapat pula
berkelompok. Dalam menyajikan seorang artis pada prinsipnya menggunakan sarana
utama berupa lisan. Namun sarana tersebut dapat dilengkapi dan didukung dengan
sarana lain seperti gerakan, iringan. Dengan demikian menjadi jelas perbedaan
antara sastra tulis dan sastra lisan. Dalam sastra lisan, kehadiran artis
adalah mutlak sementara dalam sastra tulis kehadiran artis (pengarang) sudah
tereliminir.
Story identik dengan pesan yang
disampaikan. Pesan ini disampaikan dalam bentuk kode-kode bahasa yang secara
naluriah sudah dipahami baik oleh artis maupun audience. Story
ini berupa cerita yang sumbernya dapat berasal dari berbagai macam. Sumber
tersebut dapat berupa cerita turun-menurun atau cerita yang berkembang di
masyarakat, cerita karangan, dan sebagainya.
Wujud nyata dari suatu sastra lisan
adalah performance. Tidak ada sastra lisan tanpa performance. Performance
ini dapat berupa pertunjukkan yang sederhana sampai pada pementasan yang hingar
bingar seperti dalam pementasan wayang, ketoprak, dan teater modern. Seorang
ibu yang bercerita kepada anaknya dalam rangka menurunkan cerita sebenarnya
juga mengadakan performance. Dalam bercerita tersebut si ibu menggunakan
berbagai kemampuannya untuk bercerita seperti mengubah volume suara, membuat
peragaan dengan tangannya, mengubah nada suara, membuat perumpamaan, dan
sebagainya.
Audience adalah unsur yang harus dipenuhi
adanya untuk tersajikannya sastra lisan. Audience ini adalah penonton
atau pendengar.
Salah contoh sastra tutur adalah kentrung.
Kentrung adalah suatu jenis sastra lisan berupa penceritaan lisan yang
dilakukan oleh dalang kentrung kadang-kadang dibantu oleh panjak atau
pengiring dalang. Di dalam menyampaikan cerita, dalang kentrung sering
mengiringinya dengan tabuhan rebana dan kendang. Kentrung ini memiliki
penyebaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama di wilayah pesisir. Di dalam
menyampaikan cerita, dalang kentrung tidak menggunakan peraga.
Kentrung biasanya menyampaikan cerita-cerita
tradisionil yang diselingi dengan puisi-puisi Jawa (pantun). Pantun
tersebut mengandung pesan yang bermacam-macam dan sering tidak ada kaitannya
dengan jalan cerita. Isi pantun dapat berupa sindiran, nasihat, ratapan, dan
sebagainya.
Model seni mirip kentrung juga
terdapat di berbagai kelompok masyarakat. Jenis seni bercerita dan asalnya
dapat dilihat di dalam tabel berikut:
Nama Seni Bercerita
|
Daerah Asal
|
Jemblung, Kentrung, Templing
|
Jawa Tengah/ Jawa Timur
|
Bakaba
|
Sumatra Barat
|
Jeilehim
|
Sumatra Selatan
|
Warahan
|
Lampung
|
Bapandung, Basyasyairan
|
Kalimantan Selatan
|
Cepung
|
Bali
|
Pantun
|
Jawa Barat
|
Awang Belanga/ Awang Batil
|
Perlis, Malaysia
|
Pelipur lara
|
Melayu
|
Tanggomo
|
Gorontalo
|
B.
Sastra
Tulis
Jenis kedua dari karya sastra ialah
sastra tulis. Sastra tulis (written literature) yaitu sastra yang menggunakan
media tulisan atau literal. Menurut Sulastin Sutrisno (1985) awal sejarah sastra
tulis Indonesia (Melayu) bisa dijejaki sejak abad ke-7 M. Berdasarkan penemuan
prasasti bertuliskan huruf Pallawa peninggalan kerajaan Sriwijawa di Kedukan
Bukit (683) Talang Tuo (684) Kota Kapur (686) dan Karang Berahi (686). Walaupun
tulisan pada prasasti-prasati tersebut masih pendek-pendek, tetapi
prasasti-prasasti yang merupakan benda peninggalan sejarah itu dapat disebut
sebagai cikal bakal lahirnya tradisi menulis atau sebuah bahasa yang dituangkan
dalam bentuk tulisan
Sastra tulis dianggap sebagai ciri
sastra modern karena bahasa tulisan dianggap sebagai refleksi peradaban
masyarakat yang lebih maju. Pada akhirnya, proses pergeseran
dari tradisi sastra lisan menuju sastra tulisan tidak dapat dihindari. Karena
sadar atau tidak, bagaimanapun proses pertumbuhan sastra akan mengarah dan
berusaha menemukan bentuk yang kebih maju dan lebih sempurna sebagaimana
terjadi pada bidang yang lainnya.
REFERENSI
Barthes, Roland. 1977. “The Death of the Author”. New York: Hill
and Wang.
Djanandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia, Dongeng, dan
Lain-lain. Jakarta: Grafiti
Press
Hutomo, Saripan Sadi. 1991. Mutiara
Yang Terlupakan: Pengantar Studi Lisan.
Jatim: Hiski.
Sudardi, Bani. 2002. Dasar-dasar
Teoretis Pengkajian sastra Lisan. Surakarta: FS-UNS
Artikel yang sangat membantu.Terimakasih banyak ya
BalasHapus