Rabu, 13 November 2013

Tipologi Sastra Lisan dan Sastra Tulis


TOPOLOGI
SASTRA  LISAN DAN SASTRA TULIS
DI INDONESIA

Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya dengan dongeng, cerita rakyat, legenda, mite, adat istiadat, permainan rakyat, tarian rakyat, nyanyian rakyat dan sebagainya. Kekayaan tersebut diwariskan secara turun temurun. Khazanah kebudayaan tradisional tersebut, sebagian terekam dalam naskah-naskah lama dari berbagai daerah, seperti: Aceh, Batak, Nias, Minangkabau, Lampung, Sunda, Jawa, Bali, dalam berbagai huruf daerah setempat. Di samping itu, ada yang terekam sebagai tradisi lisan (Wahjono,1999:105).
Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau tersebut, sampai sekarang merupakan warisan kebudayaan para leluhur, antara lain terdapat dalam berbagai cerita rakyat yang masih diturunkan dari mulut ke mulut dan kini telah banyak direkam di dalam berbagai tulisan (Mulyadi, 1994:1). Kadang-kadang terdengar ungkapan “warisan budaya”, yang menggambarkan sesuatu mencakup teks klasik yang diwariskan secara turun-temurun.
Ada perbedaan cara memaknai sebuah warisan di mata bangsa Indonesia dan para sarjana Barat. Bangsa Indonesia menganggap warisan budaya yang berupa teks (lisan dan tertulis), adalah sebuah “pusaka” yang perlu “dilestarikan” dengan berbagai cara menurut tradisi masing-masing daerah. Sarjana Barat menganggap teks (lisan dan tertulis) adalah sebuah peristiwa budaya rohani bangsa Indonesia, di dalamnya terekam berbagai pemikiran, konsep, nilai budaya
manusia Indonesia di masa lampau.
Pemikiran antara Barat dengan Timur bukanlah sesuatu yang harus disikapi dengan pertentangan atau dikotomi rasa dengan rasio. Namun, yang lebih penting dilakukan adalah bagaimana kedua pandangan itu dipadukan, sehingga mampu meneropong konsep atau pemikiran yang tertuang di dalam teks tersebut, tidak hanya sebatas rasa tetapi juga rasio. Bila demikian, masyarakat telah “menghargai” arti penting sebuah teks baik lisan maupun tertulis.

A.    Sastra Lisan
Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencangkup ekspresi kesusastraan warga dan kebudayaan yang disebarkan dari dan diturun-temurunkan secara lisan atau dari mulut ke mulut (Hutomo, 1991:1). Sastra lisan sendiri memiliki nilai-nilai yang luhur dalam masyarakat lebih-lebih pada kebudayaan yang ada dalam masyarakat.
Dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia, sastra lisan adalah hasil sastra lama yang disampaikan secara lisan umumnya disampaikan dengan dendang, baik dengan iringan musik (rebab, kecapi, dan lain-lain).
Hutomo (1991:3-4) menyatakan bahwa sastra lisan memiliki ciri, antara lain. 1) penyebaranya memalui mulut, maksudnya ekspresi budaya yang disebarkan baik dari segi waktu maupun ruang memalui mulut. 2) lahir dari masyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal huruf. 3) menggambarkan ciri-ciri budaya satu masyarakat. Sebab sastra lisan adalah warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut pula hal-hal baru ( sesuai dengan persoalan sosial), karena itu sastra lisan disebut juga fosil hidup. 4) bercorak puitis, 5) terdiri berbagai fersi, 6) tidak mementingkan fakta atau kebenaran, lebih menekankan pada aspek khayalan, fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern, tetapi memumyai fungsi di masyarakat, dan 7) menggunakan bahasa lisan setiap hari.
Berdasarkan bentu,  di Indonesia pada umumnya sastra lisan berbentuk prosa, seperti dongeng-dongeng, ada juga yang berbentuk prosa liris seperti sastra kaba (Minangkabau), sastra pantun (Sunda), sastra kentrung dan jemblung (Jawa) dan lain-lain (Hutomo, 1991:60).
Sastra lisan dilahirkan di kalangan rakyat yang tidak mengetahui tulisan. Oleh karena itu, sastra lisan disebut juga sastra rakyat. Sastra rakyat merupakan sebagian budaya rakyat yang merangkumi semua aspek tentang kehidupan suatu masyarakat. Sastra ini hanya bertumpu pada hasil kesusastraan yang bercorak pertuturan yang terdapat dalam suatu bangsa. Sastra lisan ini dapat disampaikan dalam bentuk puisi seperti: jampi, mantera, pantun, peribhasa, bahasa berirama, dan teka-teki.
Sastra lisan adalah salah satu perwujudan sastra yang memiliki kekhasan. Ciri khusus sastra lisan bahwa jenis sastra ini kehadirannya melekat dengan “artis”. Hal ini berbeda dengan sastra tulis yang setelah selesai di tulis, maka sastra tersebut akan menjadi sastra “yatim piatu” dan sang pengarang dianggap tewas sudah (the death of the author) (Barthes, 1987:8).
Dalam komunikasi sastra lisan ada empat unsur yang penting untuk tercapainya komunikasi tersebut. Keempat unsur komunikasi tersebut harus hadir secara serempat dalam penyajian sastra lisan (Sudardi, 2002:2). Keempat unsur tersebut ialah: (a) artist;(b) story;(c) performance; dan (d) audience.
Artist (artis/ seniman) adalah orang yang menyajikan sastra lisan tersebut. Artis ini dapat disejajarkan dengan pemancar dalam konsep Jakobson di atas. Artis ini dapat tunggal, namun dapat pula berkelompok. Dalam menyajikan seorang artis pada prinsipnya menggunakan sarana utama berupa lisan. Namun sarana tersebut dapat dilengkapi dan didukung dengan sarana lain seperti gerakan, iringan. Dengan demikian menjadi jelas perbedaan antara sastra tulis dan sastra lisan. Dalam sastra lisan, kehadiran artis adalah mutlak sementara dalam sastra tulis kehadiran artis (pengarang) sudah tereliminir.
Story identik dengan pesan yang disampaikan. Pesan ini disampaikan dalam bentuk kode-kode bahasa yang secara naluriah sudah dipahami baik oleh artis maupun audience. Story ini berupa cerita yang sumbernya dapat berasal dari berbagai macam. Sumber tersebut dapat berupa cerita turun-menurun atau cerita yang berkembang di masyarakat, cerita karangan, dan sebagainya.
Wujud nyata dari suatu sastra lisan adalah performance. Tidak ada sastra lisan tanpa performance. Performance ini dapat berupa pertunjukkan yang sederhana sampai pada pementasan yang hingar bingar seperti dalam pementasan wayang, ketoprak, dan teater modern. Seorang ibu yang bercerita kepada anaknya dalam rangka menurunkan cerita sebenarnya juga mengadakan performance. Dalam bercerita tersebut si ibu menggunakan berbagai kemampuannya untuk bercerita seperti mengubah volume suara, membuat peragaan dengan tangannya, mengubah nada suara, membuat perumpamaan, dan sebagainya.
Audience adalah unsur yang harus dipenuhi adanya untuk tersajikannya sastra lisan. Audience ini adalah penonton atau pendengar.
Salah contoh sastra tutur adalah kentrung. Kentrung adalah suatu jenis sastra lisan berupa penceritaan lisan yang dilakukan oleh dalang kentrung kadang-kadang dibantu oleh panjak atau pengiring dalang. Di dalam menyampaikan cerita, dalang kentrung sering mengiringinya dengan tabuhan rebana dan kendang. Kentrung ini memiliki penyebaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama di wilayah pesisir. Di dalam menyampaikan cerita, dalang kentrung tidak menggunakan peraga.
Kentrung biasanya menyampaikan cerita-cerita tradisionil yang diselingi dengan puisi-puisi Jawa (pantun). Pantun tersebut mengandung pesan yang bermacam-macam dan sering tidak ada kaitannya dengan jalan cerita. Isi pantun dapat berupa sindiran, nasihat, ratapan, dan sebagainya.
Model seni mirip kentrung juga terdapat di berbagai kelompok masyarakat. Jenis seni bercerita dan asalnya dapat dilihat di dalam tabel berikut:
Nama Seni Bercerita
Daerah Asal
Jemblung, Kentrung, Templing
Jawa Tengah/ Jawa Timur
Bakaba
Sumatra Barat
Jeilehim
Sumatra Selatan
Warahan
Lampung
Bapandung, Basyasyairan
Kalimantan Selatan
Cepung
Bali
Pantun
Jawa Barat
Awang Belanga/ Awang Batil
Perlis, Malaysia
Pelipur lara
Melayu
Tanggomo
Gorontalo



B.     Sastra Tulis
Jenis kedua dari karya sastra ialah sastra tulis. Sastra tulis (written literature) yaitu sastra yang menggunakan media tulisan atau literal. Menurut Sulastin Sutrisno (1985) awal sejarah sastra tulis Indonesia (Melayu) bisa dijejaki sejak abad ke-7 M. Berdasarkan penemuan prasasti bertuliskan huruf Pallawa peninggalan kerajaan Sriwijawa di Kedukan Bukit (683) Talang Tuo (684) Kota Kapur (686) dan Karang Berahi (686). Walaupun tulisan pada prasasti-prasati tersebut masih pendek-pendek, tetapi prasasti-prasasti yang merupakan benda peninggalan sejarah itu dapat disebut sebagai cikal bakal lahirnya tradisi menulis atau sebuah bahasa yang dituangkan dalam bentuk tulisan
Sastra tulis dianggap sebagai ciri sastra modern karena bahasa tulisan dianggap sebagai refleksi peradaban masyarakat yang lebih maju. Pada akhirnya, proses pergeseran dari tradisi sastra lisan menuju sastra tulisan tidak dapat dihindari. Karena sadar atau tidak, bagaimanapun proses pertumbuhan sastra akan mengarah dan berusaha menemukan bentuk yang kebih maju dan lebih sempurna sebagaimana terjadi pada bidang yang lainnya.




REFERENSI
Barthes, Roland. 1977. “The Death of the Author”. New York: Hill and Wang.
Djanandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti              Press
Hutomo, Saripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi Lisan.                Jatim: Hiski.
Sudardi, Bani. 2002. Dasar-dasar Teoretis Pengkajian sastra Lisan. Surakarta: FS-UNS

1 komentar: